Kisah Para Diplomat Saat Bertugas di Luar Negeri
Jakarta, Trendsetter.id – Bertempat di Ruang Kantin Diplomasi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah diluncurkan buku ke-4 alumnus Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) Angkatan X ”40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi”. Selain peluncuran buku, acara yang dipandu Dubes Bagas Hapsoro ini, membedah buku yang ditulis oleh 29 (dua puluh sembilan) diplomat Indonesia alumnus Sekolah Dinas Luar Negeri Angkatan X atau dikenal dengan Sekdilu X lulusan tahun 1984.
Berbeda dari tiga buku sebelumnya yang lebih menekankan tulisan-tulisan bersifat analisis, buku ke-4 ini lebih memberi bobot pada aspek human interests yang didasarkan pada pengalaman masing-masing penulis. Dengan para diplomat senior membagikan pengalamannya melalui tulisan, diharapkan para pembaca, khususnya generasi muda, dapat memetik pelajaran yang berharga.
Dalam acara tersebut hadir sebagai pembicara adalah: Dr. Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri RI 2001-2009), Duta Besar Tantowi Yahya dan Duta Besar Niniek Kun Naryatie.
Wakil Menlu RI (Wamenlu) Pahala Nugraha Mansury menyambut baik buku yang ditulis oleh 29 diplomat Indonesia yang telah bertugas di berbagai negara di dunia. Sumbangan tulisan dan pemikiran diplomat sangat diperlukan saat sekarang. Tidak saja sebagai bentuk pertanggung jawaban publik, tetapi juga pengenalan.
“Kita tahu bahwa kesadaran masyarakat tentang politik luar negeri semakin tinggi”, kata Wamenlu Pahala N. Mansury.
Dalam pengantar laporannya, Chief editor Buku, A. Agus Sriyono, mantan Dubes RI di Tahta Suci Vatican mengatakan bahwa bertepatan dengan momentum 40 tahun menggeluti dunia diplomasi, sebanyak 42 tulisan dari para Sekdilu X tahun 1984 berhasil terkumpul dalam buku bertajuk 40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi. Indonesia di Mancanegara.
Mantan Menlu Hassan Wirajuda menyatakan ketertarikannya pada isu perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Perhatian itu mengacu kepada salah satu tulisan Dubes A.M. Fachir dimana Indonesia pada Januari 2011 harus memulangkan 2.450 WNI ke Indonesia karena terjadi krisis politik dan keamanan di Mesir.
Contoh berikutnya menurut mantan Menlu ini adalah tulisan Dubes Nahari Agustini, menuliskan pengalamannya dua kali bertemu Presiden Libya Muammar Khadafi tahun 2001. Hassan Wirajuda menghargai tulisan itu. Ini menyangkut tokoh kontroversial menurut pihak Barat, tetapi kharismatik bahkan dicintai rakyatnya. Tampil dengan kesederhanaannya pemimpin Libya ini menunjukkan sikap nasionalismenya dan tidak mau tunduk dengan keinginan Barat.
Pembicara berikutnya adalah Tantowi Yahya. Mantan Dubes RI di Selandia Baru ini merekomendasikan agar buku ini untuk menjadi pegangan dan referensi di perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi.
”Menurut saya tulisan para diplomat ini wajib dibaca pelaku dan pemerhati polugri. Hal ini mengingat isinya konstekstual. Contoh yang paling konkrit adalah masalah ekonomi, hankam, dan lingkungan hidup yang memerlukan kerjasama yang erat antar negara.” komentar Tantowi Yahya.
Terakhir disampaikan Tantowi Yahya bahwa membuat tulisan itu adalah warisan budaya tak benda (intangible heritage). Dengan adanya media sosial tulisan itu menjadi keharusan karena terjadi interaksi sosial, dan ini sangat menunjang tugas sebagai diplomat.
Pembicara terakhir Niniek Kun Naryatie, mantan Dubes RI di Argentina dan Ukraina, menyatakan sangat terhormat dengan pandangan kedua pembicara sebelumnya. Pengalaman Dr. Hassan Wirajuda sebagai Dubes RI di Mesir sangat melengkapi tulisan Dubes Fachir karena dalam posisi Dr. Hassan Wirajuda berikutnya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden tahun 2011 dapat memberikan masukan yang tepat kepada Presiden RI untuk melindungi WNI di Mesir.
Dubes Niniek menggaris bawahi pentingnya pengalaman para diplomat Indonesia sebagai antara lain sebagai peninjau Pemilu di Kamboja, melindungi pekerja migran Indonesia di Malaysia dengan segala persoalannya, serta bagaimana menangani demonstrasi anti-Indonesia di perwakilan.
Khusus mengenai Amerika Latin khususnya negara Argentina, disampaikan Niniek Kun ketika berkunjung ke sekolah dan menemui Wali Kota Puerto Ezperanza. Kunjungannya ke sekolah yang terpencil tetapi menyandang nama Indonesia ini mendapat sambutan hangat dari sekolah dan Wali Kota Puerto Esperanza. Mereka terharu dan bangga karena Duta Besar RI memilih berkunjung ke sekolahnya untuk merayakan peringatan 65 tahun hubungan diplomatik Indonesia– Argentina.
Sementara itu rektor Jakarta International University, Dr. Agus Hartadi telah mengindikasikan ketertarikannya untuk mengundang para penulis buku bisa berbagi pengalamannya di universitas tersebut.
Acara ini diakhiri dengan tanya jawab dengan para senior di Kemlu, rektor universitas dan media cetak. Sebagai tindak lanjut buku tulisan alumnus Sekdilu Angkatan X itu akan dibagikan di berbagai perpustakaan instansi dan universitas.