Tekno

Mayoritas Masyarakat Indonesia Belum Yakin Bisa Bedakan Konten AI

Jakarta, Trendsetter.id – Di tengah gempuran teknologi kecerdasan buatan generatif (Gen-AI), hasil riset terbaru dari Luminate bekerja sama dengan Ipsos mengungkap kenyataan mengejutkan: banyak masyarakat Indonesia belum yakin bisa membedakan konten buatan AI dengan yang asli, meski menyadari dampaknya terhadap pandangan politik publik.

Sebanyak 75 persen responden percaya bahwa konten hasil AI bisa mempengaruhi opini politik masyarakat. Bahkan, 72 persen merasa konten ini bisa mempengaruhi keluarga atau teman dekat mereka, dan 63 persen mengaku diri mereka sendiri pun tidak kebal. Namun menariknya, dari 33 persen responden yang merasa pandangan politiknya tidak akan tergoyahkan, 42 persen justru ragu bisa mengenali konten buatan AI.

“Semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap AI, semakin besar kesadarannya akan risiko yang ditimbulkan,” ujar Dinita Putri, praktisi tata kelola data dari Luminate. “Karena itu, meningkatkan literasi digital tidak bisa hanya menyasar kelompok digital native, tapi harus menyentuh semua kalangan.”

Ketimpangan juga tampak dalam hal kepercayaan diri. Survei menunjukkan bahwa 30 persen pria merasa sangat yakin bisa membedakan konten AI, sementara pada wanita hanya 17 persen. Meski secara umum tingkat keyakinan serupa sekitar 70 persen, peneliti menyoroti kemungkinan adanya bias gender dalam menilai kemampuan diri.

Dengan tingginya penggunaan media sosial di Indonesia, lebih dari 90 persen responden mengaku menggunakan WhatsApp setiap hari, disusul Instagram, TikTok, dan Facebook, tantangan makin kompleks. Rendahnya literasi AI berpotensi memperbesar risiko penyebaran disinformasi, apalagi di negara dengan lebih dari 204 juta pemilih seperti Indonesia.

Prasasti Dewi, Direktur Program ICT Watch, menekankan pentingnya pendekatan etis dan inklusif dalam menghadapi AI. “Literasi AI harus menekankan nilai-nilai hak asasi manusia dan keadilan digital. Kami mendorong pendekatan yang memperhatikan kesetaraan gender, disabilitas, kondisi sosial ekonomi, dan inklusi sosial,” ujarnya saat peluncuran Kerangka Kerja Literasi AI Indonesia.

Secara global, tren serupa terlihat. Di negara-negara maju seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, lebih dari 70 persen responden yang melek AI menyatakan kekhawatirannya terhadap pengaruh teknologi ini terhadap integritas pemilu. Bahkan di Amerika Latin, dukungan terhadap regulasi AI meningkat signifikan di kalangan mereka yang memahami teknologi tersebut secara mendalam.

“Pemahaman terhadap AI menjadi kunci dalam menjaga kualitas demokrasi. Di era informasi yang bergerak begitu cepat, literasi digital khususnya literasi AI adalah garda terdepan dalam menangkal disinformasi,” tutup Dinita.

Riset ini melibatkan 1.000 responden usia 21 hingga 65 tahun dari berbagai wilayah di Indonesia, dengan metode online pada 28 November hingga 6 Desember 2024. Pengambilan data dilakukan dengan sistem kuota yang mencerminkan populasi nasional berdasarkan usia, gender, lokasi geografis, dan status pekerjaan.

Foto: Unsplash/Markus Winkler

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *